mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Pembatasan Usia Kerja: Trend Pengangguran Semakin Merajalela

Doc. Ilustrasi batas usia kerja

Arusgiri.com- Pernahkah kamu melihat info lowongan kerja lalu tertera batas maksimal usia?

Saya yakin pernah. Minimal sekali seumur hidup. Hal itu banyak dijumpai di mana-mana. Kalau kamu tidak pernah melihatnya, pasti kamu sudah kerja berabad-abad lamanya, atau memang sudah diberkahi harta melimpah sejak sebelum lahir ke dunia.

Tak hanya ditolaknya cinta, pembatasan usia kerja adalah satu dari beberapa kenyataan pahit di negara 'Konoha'. Selain kualifikasi calon pekerja yang terlalu tinggi bak gunung Himalaya, usia yang seringkali dibatasi juga menjadi problem yang nyata. Sebuah bentuk diskriminasi namun sepertinya malah dinormalisasi. Dulu, banyak lowongan kerja yang menyematkan batas usia pelamar sampai 30 tahun. Sekarang bukannya ditambah, justru semakin nyungsep. Usia maksimal pelamar dibatasi hanya sampai 23 hingga 25 tahun.

Entah apa yang ada dalam pikiran para pelaku usaha. Barangkali, manusia ketika berusia 25 ke atas sudah dianggap sebagai 'manusia jompo', tidak layak dipekerjakan, atau bahkan dianggap barang antik yang harus dimuseumkan. Atau mungkin sudah dianggap menjadi tokoh-tokoh sukses dunia, punya ratusan slot saham, menjabat CEO perusahaan seperti di drama-drama Korea, atau bahkan dituduh tinggal ongkang-ongkang kaki saja menikmati privilege dan warisan orang tua.

Iya, memang ada. Namun kenyataannya, pemuda 'generasi sandwich' dengan ekonomi menengah ke bawah–hingga dasar palung Mariana–jumlahnya lebih dominan daripada pemuda yang diberi anugerah sejahtera hidupnya. Jangankan menjadi kaya, bisa bekerja dan masih hidup ala kadarnya saja sudah merupakan pencapaian luar biasa dalam negara kita.

Bagaimana tidak? Banyaknya SDM yang ada terus dipaksa menerobos lowongan kerja yang jumlahnya tak seberapa, dan teganya masih seringkali kepentok usia. Jangan heran jika pengangguran semakin merajalela.

Apa pembatasan usia kerja ini adalah sebuah trend? Lalu siapa yang memulainya?

Padahal jika diperhatikan, kebanyakan pemuda berusia 25 ke atas–sampai sebelum manula–justru malah sedang aktif-aktifnya, sebab sadar semakin banyak kebutuhannya. Mereka akan sibuk berjuang menata jalannya, minimal bisa menyendok sesuap nasi hasil keringat sendiri. Apalagi yang sudah 'terlanjur' punya tanggungan anak istri. Harga kebutuhan pokok semakin tak bisa ditolerir, melambung terus seiring naiknya tensi.

Fenomena batasan usia kerja ini adalah masalah bersama dan perlu kolaborasi berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Baik antar sesama pelaku usaha maupun antara pemerintah dengan pelaku usaha. Misalnya, para pemilik usaha bisa saling sharing terkait rekrutmen calon pekerja agar seragam untuk fokus pada test soft skill, sesuai posisi yang dibutuhkan, dan tentunya dengan tetap mempertimbangkan posisi pelamar dan risiko pekerjaan. Dengan begini, akan sedikit mengurangi pengangguran.

Selagi bukan manula dan masih bisa dipekerjakan, rasanya tak perlu buru-buru disingkirkan. Contohnya, mencari tukang cuci piring di restoran. Tentu ini bisa dilakukan oleh semua usia. Jadi tak perlu repot-repot mencari calon pekerja dengan 'spek dewa' apalagi sampai membatasi usia. Kecuali, kalau gaji tukang cuci piringnya mencapai dua digit. Sah-sah saja jika pelamarnya diperketat atau dibatasi, karena sifatnya premium. Sedangkan kenyataannya, gaji pekerja saja masih jauh di bawah UMK.

Seorang pelaku usaha harus lebih bijak dan profesional dalam menjaring calon pekerja atau minimal harus pandai mencari HRD (Human Resource Development) dengan kualitas grade A, yang benar-benar paham kualifikasi pelamar kerja, yang tidak mudah terbuai dengan 'titipan si A' dan seterusnya. Mungkin bukan solusi efektif, tapi setidaknya dapat memberi angin segar kepada mereka yang berusia 25 ke atas agar tidak terlalu frustasi dan geraknya tidak dibatasi, agar mempunyai kesempatan mengekspresikan keahliannya. Jika ternyata memiliki keahlian sesuai yang dibutuhkan, maka bisa dipekerjakan. Jika tidak, tentu penolakan juga sebuah kebijakan.

Terkait kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku usaha. Pemerintah hanya perlu membuat kebijakan tentang penghapusan batasan usia kerja kepada seluruh pelaku usaha yang melakukan rekrutmen tenaga kerja. Sebab pembatasan usia kerja adalah salah satu bentuk diskriminasi dalam pekerjaan. Setidaknya dengan begitu janji-janji pemerintah yang 'katanya' akan membuka jutaan lapangan pekerjaan, yang menggema setiap pesta demokrasi namun tak pernah diwujudkan, bisa sedikit termaafkan. 

Lalu apakah bisa pemerintah membuat kebijakan demikian? Jika Mahkamah Konstitusi (MK) saja bisa dengan mudah menurunkan batas usia Capres-Cawapres, tentunya melakukan penghapusan batasan usia kerja juga akan semudah membalikkan tangan.

Intinya, pembatasan usia kerja itu tak perlu ada, sebab tak ada manfaatnya. Kecuali jika para pelaku usaha mencantumkan alasan objektif yang jelas dan masuk akal. Kalau hanya sekadar trend dan tanpa alasan, itu sama saja memperluas sayap pengangguran.

Jangan-jangan pembatasan usia kerja ini adalah bentuk kesengajaan sistem agar rakyat kerja ke negara lainnya sehingga semakin memperbanyak devisa negara? Terserah saja, Ketua.


Penulis: Husnul Khotimah (Mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Arab Unugiri).


0

Posting Komentar