mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Resensi Novel Ayah: Kisah Buya Hamka

sumber:https://www.gramedia.com/products/ayah-kisah-buya-hamka-sensation

Irfan Hamka yang merupakan anak kelima Buya Hamka berhasil menulis Novel tentang kisah ayahnya pada Mei 2013 yang diterbitkan oleh Republika. Irfan Hamka menuliskan pribadi ayahnya sebagai tokoh umat. Biografi yang ditulis secara mengalir dan merekam dengan baik dalam bahasa semi novel ini, semakin mendekatkan kita pada tokoh yang wafat pada Juli 1981. Buku ini, sungguh layak dibaca oleh semua pihak, khususnya kaum muslimin, dan lebih tepatnya bagi para pendidik. Sebab yang dituliskan Irfan Hamka ialah lebih banyak pesan moral dan pengajaran tentang kehidupan dalam kenyataan keseharian.

Buku yang diberikan pengantar oleh Taufik Ismail ini hampir seluruhnya mengajak kita selain mengenal sosok Buya Hamka juga mengajak untuk berkunjung sejarah ke berbagai tempat yang Buya Hamka kunjungi disertai keadaannya pada masa itu. Sedemikianlah guna sejarah, ia tidak hanya bersifat instruktif, edukatif, dan inspiratif, tapi juga bernilai rekreatif. Buku ini mewakili seluruh guna sejarah yang ada.

Pada permulaan, penulis menuturkan tentang “Sejenak mengenang nasihat ayah” sebagai pembuka dari seluruh tulisan di bab lainnya, yang bertutur tentang 3 keadaan dimana sang ayah tidak hanya memberi nasihat dengan lisan tapi juga dengan perbuatan. Mulai dari suami-istri serta rumah tangga yang dijalani, tentang seseorang dengan tetangganya, dan kisah pribadi penulis saat dengan telitinya sang ayah membedakan mana kebohongan dan bukan.

Sinopsis Novel Ayah: Kisah Buya Hamka

Novel “Ayah: Kisah Buya Hamka” karya fiksi yang menggambarkan kehidupan, perjuangan, pemikiran, dan pengaruh seorang tokoh besar Indonesia, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kerap kita sebut dengan sosok Buya Hamka.

Buya Hamka adalah seorang anak Haji Malik Amrullah, seorang Ulama dari Mininjau, Sumatera Barat. Dalam kehidupannya Buya Hamka menjumpai berbagai banyak rintangan penuh dengan pilu. Buya Hamka juga pernah berjuang dalam mempertahankan tanah Sumatera.

Kemudian ia berpindah ke tanah Jawa untuk pergi belajar. H.O.S Tjokro Aminoto adalah seorang guru Hamka dalam mempelajari Islam dan Sosialisme. Ada Ki Bagus Hadi Kusumo dan Tuan A.R. Fakhruddin adalah guru Hamka dalam belajar ilmu Agama. Hamka pindah ke tanah Jawa masuk juga dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan ikut serta dalam mengembangkan dakwah Muhammadiyah untuk diterapkan ke daerah asalnya lagi yaitu Sumatera Barat bersama ayahnya Abdul Karim Amrullah.

Tak lama Buya Hamka menikah dengan sosok wanita bernama Hajah Siti Raham Rasul dan kemudian dikaruniai oleh 12 orang buah hati, yaitu: Hisyam dan Husna (meninggal saat balita), H. Zaki, H. Rusjdi, H. Fachri, Hj. Azizah, H. Irfan (sang penulis buku ini), Hj. Aliyah, Hj. Fathiyah, Hilmi, H. Afif, dan H. Saqib. Buya Hamka merupakan seorang kepala keluarga yang begitu perhatian kepada keluarganya. Di tengah kesibukannya, ia selalu menyempatkan sholat berjamaah bersama istri dan anaknya, bahkan sering memberikan ceramah-ceramah pula sebagai bekal dasar dalam keluarga.

Pernah suatu saat Buya Hamka membuat rumah di daerah Kemayoran Baru, Jakarta karena ia diangkat sebagai pegawai Kementrian Agama. Seluruh anak dan istrinya pun ikut dengannya. Buya Hamka kemudian kembali beraktivitas sebagai seorang jurnalis yakni wartawan dan juga penulis. Ia banyak mengirimkan tulisannya di majalah Suara Muhammadiyah, Pembela Islam, Bintang Islam dan surat kabar lainnya. Tidak hanya menulis di surat kabar dan majalah saja, Buya Hamka pun menulis karya sastra, salah satu karyanya yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Dalam karyanya ini sang penulis suatu ketika pernah memberikan kesaksiannya, bahwa ketika ada Jin penunggu rumahnya itu diajak berdialog oleh ayahnya, dan takhluklah jin itu oleh Buya Hamka. Jin penunggu rumahnya itu dinamakan Innyak Batungek.

Dalam novel Ayah: Kisah Buya Hamka ini juga menceritakan bahwa suatu ketika Buya Hamka mendengar tangisan kucing di luar rumahnya, tergeletaklah kucing kecil dengan sangat lusuh. Buya Hamka pun membawanya ke dapur dan memberikannya susu. Kucing tersebut dirawat hingga besar yaitu berusia 25 Tahun. Segala aktivitas yang dilakukan Buya Hamka, si kucing selalu menemaninya. Hingga pada suatu saat Buya Hamka banyak pergi ke luar kota dan memiliki kesibukan. Si Kuning nampak kehilangan tuannya bahkan ketika Buya Hamka pulang kepada Allah, Si Kucing termenung. Ada orang yang melihat hal itu lalu memberitahukan kepada Irfan Hamka bahwa Si Kucing berada di atas kuburan Buya Hamka. Setelah mendengar kabar tersebut, Si Kucing sudah tidak terlihat oleh keluarga Buya Hamka lagi.

Pada musim haji, Buya Hamka, Ummi dan Irfan Hamka mendapat hadiah berangkat ke tanah suci menjalankan ibadah haji. Kisah-kisah yang diceritkan oleh Irfan Hamka tentang kejadian di negeri Timur Tengah itu sangat membekas baginya. Mengingat kejadian yang tidak mungkin dilupakan bersama ayah dan ibunya ketika melihat jenazah calon haji yang meninggal dunia dan ditenggelamkan ke dasar laut. Kejadian di pesawat yang hampir jatuh, kisah angin gurun yang hampir membuat mobil yang ditumpangi bersama ayah, ibu, sopir dan dirinya hampir terjungkal, serta kejadian air bah yang juga hampir menyeret mobilnya terbawa arus. Selang beberapa tahun dari perjalanan haji itu, berpulanglah kehariban Allah, Hajah Siti Raham Rasul pada usia 57 Tahun, bertepatan pada tanggal 1 Januari 1971. Sepeninggalnya Ummi, Buya Hamka sering menyenandungkan “Kaba” lalu membaca Al-Quran. Karena rindu padanya dan jika ingatan pada Ummi semakin kuat, ia segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat taubat, karena takut akan cintanya pada Ummi menggeser cintanya pada Allah.

Dalam kisahnya Buya Hamka pernah dimusuhi oleh tokoh dan media-media yang berafiliasi pada PKI. Pernah suatu ketika, Buya Hamka diberitakan dalam koran yang di pimpin oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu Harian Rakyat dan Bintang Timur, memberitakan bahwa karya tulis Buya Hamka: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck itu diduga karya hasil jiplakan dari hasil karya pujangga Prancis bernama Alvonso Care. Mendengar berita tersebut Buya Hamka tetap nampak tenang. Dan disuatu hari ketika terjadi kudeta yang dilakukan PKI gagal pada tanggal 30 September 1965, Pramoedya Ananta Toer dipenjara di pulau Buru. Setelah bebas, Pramoedya Ananta Toer menyuruh anak dan calon menantunya untuk belajar agama kepada Buya Hamka yang menjadi simbolis permintaan maaf kepada Buya Hamka.

Sikap pemaaf yang ditampilkan Buya Hamka, ditampakkan ketika Soekarno yang memusuhi pada masa ia menjabat sebagai Presiden Indonesia. Sampai-sampai Buya Hamka dipenjara dan dijadikan tahanan politik olehnya. Namun pada akhir hayatnya Soekarno berwasiat untuk meminta Buya Hamka menjadi imam shalat jenazahnya. Selain Soekarno yang pernah memusuhinya, Mr. Moh. Yamin adalah seorang politikus dari PNI juga seorang lawan politik Buya Hamka. Yang pada saat itu menjadi politikus Partai Masyumi. Dalam politik mereka berdua adalah rival bahkan sangat bersebrangan. Kebencian Mr. Moh. Yamin kepada Buya Hamka terjadi di dalam Konstituante bahkan dibawa sampai ke luar. Namun pada akhir menjelang akhir hayatnya, Mr. Moh. Yamin meminta ingin ditemani oleh Buya Hamka dan jika ia meninggal dunia ia ingin jenazahnya dimakamkan dan dihantarkan oleh Buya Hamka ke Desa Talawi, Sumatera Barat. Permintaan itu dipenuhi Buya Hamka hingga ia memegang tangan Mr. Moh. Yamin ketika menjelang wafat.

Dalam kisahnya lagi Buya Hamka terpilih kembali menjadi Ketua Umum MUI pada tahun 1980-1985, namun Buya Hamka terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak sejalan dengan Pemerintah mengenai fatwa MUI yang mengharamkan umat Islam mengikuti acara perayaan Natal bersama. Buya Hamka pun mundur. Selang beberapa waktu, dari mundurnya Buya Hamka atas jabatannya sebagai Ketua Umum MUI, Buya Hamka dibawa ke Rumah Sakit Pertamina karena sakit. Ia mengidap penyakit diabetes. Buya Hamka Wafat pada hari Jum’at tanggal 24 Juli 1981. Banyak orang yang melayat dan menghantarkan jenazahnya. Sang Ulama pun pulang, kembali kepada Yang Maha Kuasa

Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Buya Hamka sejak masa kecilnya di Minangkabau, Sumatera Barat, hingga ia menjadi seorang Ulama terkemuka dan tokoh sastra terkenal di Indonesia. Kisah ini mencakup perjalanan intelektualnya, keterlibatannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, serta peran pentingnya dalam mengembangkan pemikiran agama dan sastra.

Selain itu, novel ini juga menggambarkan sisi pribadi Buya Hamka, seperti seorang ayah dan keluarga. Pembaca dapat melihat bagaimana Buya Hamka berhasil menjalani kehidupan yang produktif di tengah perubahan zaman dan tantangan yang kompleks.

Novel ini mengungkapkan perjalanan hidup dan pemikiran seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia dengan fokus pada nilai-nilai, inspirasi, dan pengaruh yang ditorehkannya dalam budaya, sastra, dan agama Indonesia

Kelebihan Novel Ayah: Kisah Buya Hamka

Novel ini memberikan inspirasi dan pelajaran berharga, khususnya untuk generasi penerus bangsa melalui kisah kehidupan Buya Hamka yang merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah Indonesia. Pembaca dapat belajar tentang perjuangan, memikirkan agama, dan pengabdian Buya Hamka.

Kemudian dalam buku ini juga menghadirkan nilai-nilai sejarah dan budaya Indonesia, serta menggambarkan peran Buya Hamka dalam membentuk budaya, sastra, dan pemikiran keagamaan di Indonesia dengan gambaran mendalam tentang karakter utama, yaitu Buya Hamka. Pembaca dapat merasakan perasaan, pemikiran, dan perjuangan pribadi yang dialami oleh tokoh ini.

Dalam buku ini juga dapat membantu pembaca memahami pemikiran dan pandangan agama Buya Hamka, serta bagaimana pemahaman agamanya mempengaruhi pemikiran sosialnya, selain itu mengandung konteks sejarah juga yang memungkinkan pembaca untuk memahami peran Buya Hamka dalam peristiwa-peristiwa penting di Indonesia, termasuk perjuangan kemerdekaan.

Kelemahan Novel Ayah: Kisah Buya Hamka

Karena novel ini fokus pada kehidupan dan pemikiran Buya Hamka, mungkin ada yang merasa bahwa buku ini terlalu spesifik dan tidak cukup menggambarkan latar belakang sejarah atau konteks sosial yang lebih luas.

Kemudian novel ini fokus utamanya adalah pada Buya Hamka yang mungkin mengakibatkan pengembangan karakter lain menjadi kurang mendalam karena novel ini terbatas pada perspektif tertentu, yaitu sudut pandang yang sangat terkait dengan kehidupan Buya Hamka. Sehingga membuat pembaca ingin mengetahui lebih banyak tentang sudut pandang lainnya.

Bagi beberapa pembaca, buku ini mungkin dianggap terlalu panjang atau terlalu rinci dalam menggambarkan kehidupan Buya Hamka.


Penulis : Adelia Halimatussa’diyah
Posting Komentar

Posting Komentar