mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Guru yang —Tidak lagi— Digugu lan Ditiru

Dahulu, guru adalah seseorang yang berwibawa, terhormat, dan disegani oleh murid-murid. Seramai apapun kelas waktu jam kosong, seketika langsung senyap saat guru masuk. Pun, ketika ada seorang murid melakukan kesalahan atau tidak menyimak pelajaran yang disampaikan, siap saja dengan teriakan menggema yang membuat seisi kelas terdiam.

Fenomena-fenomena tersebut mungkin sangat jarang dijumpai sekarang ini, bahkan bertolak belakang. Sebagai orang yang mengalami masa di atas, murid membantah, membentak, dan bahkan melawan seorang guru rasanya sangat kontras dengan istilah 'Guru' Digugu lan Ditiru. Digugu di sini perkataannya bisa dipercaya, memberikan masukan yang baik, Ditiru lebih ke arah tindak-tanduk yang bisa dijadikan panutan, tidak berkelakuan yang berlawanan dengan norma terlepas dari ada satu dua, bahkan lebih yang oknum guru yang tidak bisa dijadikan suri tauladan.

Ilustrasi 

Di Pasuruan beberapa bulan lalu, kita disuguhkan dengan fenomena menyayat hati. Seorang guru yang menyuruh anak didiknya untuk membaca buku pelajaran justru dibentak dan disuruh balik untuk membacanya sendiri. Lebih lanjut, si murid berkata bahwa ia datang ke sekolah hanya untuk tidur.

Sementara di Barito Selatan, seorang guru malah mendapat tantangan duel dari muridnya lantaran menegur untuk berpakaian rapi. Bahkan si siswa sampai membuka baju dan mengepalkan tangan seakan menunjukkan bahwa guru tersebut bukan apa-apa di hadapannya.

Lebih parah lagi, di Lamongan ada seorang guru yang dianiaya muridnya dengan senjata tajam hanya karena menegur lantaran tidak memakai sepatu. Akibatnya, guru tersebut sampai harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan murid tadi harus berurusan dengan kepolisian.

Kejadian-kejadian di atas adalah contoh kecil yang mempunyai akar masalah besar: kemerosotan etika, di mana guru sudah kehilangan perannya sebagai pengajar dan pendidik, perkataannya sudah tidak lagi didengar, serta tegurannya sudah dianggap seakan tantangan.

Parahnya lagi, orang tua yang harusnya ikut mendukung dalam pendidikan moral seorang anak justru terkadang ikut menghakimi guru. Seperti contoh di Konawe Selatan, Guru honorer bernama Supriyani harus berurusan dengan kepolisian akibat tuduhan penganiayaan yang dilakukannya terhadap salah satu murid. Hal ini kemudian memantik reaksi guru-guru lain menyuarakan sindiran kepada para orang tua "Daripada dilaporkan, mending dibiarkan".

Momen Hari Guru Nasional seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh elemen dalam dunia pendidikan baik guru, murid, orang tua, hingga dinas-dinas terkait mengingat pentingnya pendidikan karakter dan moral dalam sekolah. Bayangkan, bagaimana jika murid-murid di atas di kemudian hari menjadi seorang pemimpin bangsa ini?

0

Posting Komentar