mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Memahami Konsep "Al-Adab Fauq Al-Ilm" dalam Fenomena "Es Teh"

Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan sebuah potongan video yang menampilkan seorang pendakwah yang dianggap melontarkan kata-kata yang kurang berkenan kepada penjual es teh saat menjajakan dagangannya pada sebuah acara di salah satu pondok pesantren (Ponpes) di Magelang, Jawa Tengah, pada Senin (25/11).

Dalam potongan video viral tersebut, pendakwah yang belum lama ini ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan tersebut awalnya bertanya kepada seorang pria penjual es teh yang menjajakan dagangannya di antara jemaah yang hadir.

Es tehmu jek okeh ra? Masih, yo kono didol g****k (Es teh kamu masih banyak atau tidak? Masih, ya sana dijual g****k,” ucap pendakwah tersebut dari atas panggung dengan diiringi gelak tawa dari para jamaah yang hadir serta orang-orang yang berada di atas panggung.
Memahami Konsep "Al-Adab Fauq Al-Ilm" dalam Fenomena "Es Teh"
Ilustrasi/Khozin

Sontak video yang menampilkan kejadian tersebut mendadak viral dan menuai beragam komentar serra kecaman dari para netizen yang menganggap kata-kata tersebut tidak pantas dilontarkan, apalagi seorang yang dilabeli pendakwah sekaligus di depan kerumunan banyak orang. 

Meskipun katanya hanya sebatas candaan, akan tetapi kata-kata tersebut tetap kurang etis dilontarkan kepada seseorang. Apalagi, melihat respon dari penjual es teh tersebut yang hanya bisa terdiam mendengar perkataannya sambil mendapat tawaan dari orang-orang yang hadir, menambah kesan bahwasannya kata-kata tersebut sangat kurang pantas, bisa juga diartikan sebagai bullyan.

Dalam video yang beredar juga dapat dilihat bahwa nada bicara saat melontarkan kata-kata tersebut lebih terkesan mengejek penjual es teh.

Dari sudut pandang penulis sebagai mahasiswa, tentunya juga ingin berpendapat terkait hal tersebut guna dijadikan pelajaran untuk ke depannya, bahwa kita harus selalu berhati-hati dalam berkata terlepas itu dengan keluarga maupun orang lain.

Untuk itu, penulis akan memaparkan beberapa hal terkait kasus tersebut. Pertama, pentingnya sifat menghargai.

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menganggap bahwa diri kita selalu lebih baik dari orang lain. Padahal hal-hal seperti inilah yang memicu sifat sombong dan akhirnya menganggap bahwa orang lain tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kita, sehingga timbul sikap ingin merendahkan.

Kedua, status dan jabatan. Hal ini dapat memengaruhi watak atau karakter seseorang. Jika seseorang telah diberi kekuasaan serta status sosial yang tinggi, seringkali juga dapat memicu rasa ingin merendahkan orang-orang dengan status sosial di bawahnya.

Ketiga, ucapan. Terkadang kata-kata itu dapat melukai hati seseorang walaupun kita sendiri tidak bermaksud demikian. Seperti peribahasa 'Mulutmu harimaumu', yang artinya hati-hati dengan mulut kita.

Terkadang kita tidak akan pernah tahu ucapan yang dilontarkan dapat membuat orang lain kecewa dan sakit hati. Alangkah baiknya jika kita berpikir terlebih dahulu sebelum memulai mengucapkan sesuatu.

Keempat, nada bicara. Selain ucapan, nada bicara juga sangat perlu untuk diperhatikan, karena ada bicara juga mempengaruhi gaya berbicara.

Jika kita mengeluarkan kata-kata yang lantang atau terlalu keras bisa juga terkesan seperti membentak. Sebaliknya, jika kita berbicara terlalu pelan bagi sebagian orang juga dapat disalah pahami bahkan sulit untuk didengar.

Kelima, ilmu. Ilmu dirasa sangat penting mengingat dalam Islam menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Dengan belajar, kita akan memperoleh pengetahuan serta wawasan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.

Wawasan sendiri merupakan cara pandang seseorang, sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang kita ketahui. Untuk itu, dengan ilmu ini, kita dapat mengetahui perbuatan mana yang dianggap benar dan perbuatan mana yang dianggap salah.

Keenam, adab. Orang yang berilmu belum tentu beradab, begitulah faktanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adab diartikan sebagai kesopanan, budi pekerti, atau akhlak. Jadi orang yang mempunyai ilmu belum tentu akhlaknya baik.

Bisa saja ilmu yang dia miliki digunakan untuk membodohi orang lain, bisa juga ilmu yang dia miliki digunakan untuk menipu orang lain. Perlunya untuk tidak mudah menganggap rendah orang lain.

Apa yang diucapkan belum tentu dapat diterima baik oleh orang lain, karena pada dasarnya kita harus selalu berhati-hati dalam berkata karena bila salah berkata dapat melukai hati orang lain.

Akhirnya, hingga tulisan ini dibuat, pendakwah tersebut sudah melakukan klarifikasi hingga datang untuk meminta maaf secara langsung ke rumah penjual es teh tersebut.

*Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Adab, Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro).
Posting Komentar

Posting Komentar