mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Mencari Bapak di Hari Ibu

 "Selamat hari ibu, Ibu."

"Matur nuwun, Nok." Ibu mengecup kedua pipi dan dahiku.

Ia sibuk kembali menyalakan dupa di pojok kamar dan meletakkan senampan melati yang ia petik dari kebun belakang. Ia mengecupku kembali dan berpamitan membeli stok bahan untuk cafe mungil kami yang juga menjadi rumah kami.

"Ini kesempatan emas," sorakku bergembira.

Setelah memastikan Ibu pergi dengan sepeda ontelnya, aku buru-buru memeriksa dinding kayu kamarnya yang penuh rahasia. Meski Ibu selalu mengajarkan untuk menghargai privasi orang lain, tapi aku butuh melanggar ajaran Ibu demi mencari Bapakku.

Mencari Bapak di Hari Ibu
Ilustrasi dibuat di Canva
Cukup mudah membuka dinding rahasia Ibu, aku hanya perlu membaca sedikit mantra.

"Aku adalah Hayu Ning Rasa, putri dari Candrawati Danastri. Aku lahir dari buku usang yang dibakar."

Dan, boommm!!! Dinding itu terbuka. Buku-buku duduk rapi menutup seluruh dinding. Meski lantai ini sama-sama terbuat dari kayu, tapi rasanya lebih dingin, seperti berjalan di atas salju. Yah, meski aku belum pernah melihat salju asli.

Aku menuju meja Ibu yang terbuat dari potongan kayu jati, bundar dan epik. Buku beludru hitam seperti memanggil namaku berulang. Aku membukanya perlahan, dan membacanya seperti mempelajari peta harta karun. 

Harta karun itu adalah Bapakku. Ibu menyembunyikannya rapat seperti merahasiakan ruang bawah tanah berisi emas dan zamrud. Meski baik, Ibu selalu menjengkelkan jika kutanya perihal Bapak, cukup membuat aku menggerutu pada mawar, kenanga, melati dan anggrek koleksinya.

Aku membaca kalimat yang selalu kutemukan di tiap lembar buku beludru hitam itu, “Ca selalu membawa semangat menulis dari Bapak ke manapun Ca pergi.”

Dan wushhh! Tubuhku seperti tersedot selang besar milik Ibu di kebun belakang. Di hadapanku hanya hitam, kosong yang kata Ibu awal dari semua kejadian atau satu.

Pada akhirnya aku memahami, buku beludru hitam itu membawaku mencari Bapak di hari Ibu. Kota mungil yang dilintasi Bengawan Solo sudah mengikuti perkembangan kemajuan dan teknologi. Gedung pencakar langit dan polusi serta panas dari eksploitasi minyak bumi cukup membuatku paham di mana kini tempatku berdiri, Bojonegoro di tahun 2024.

Seperti pasar wisata yang dibuka pada Januari 2023 lalu, Kantor Pengadilan Kelas 1a ini cukup ramai oleh orang-orang yang melakukan transaksi. Melihat perempuan usia kepala dua melakukan wawancara, aku teringat Ibu yang suka berkelahi dengan kata-kata.

“Sejak Januari hingga Agustus 2024, tercatat ada sebanyak 1.866 kasus perceraian yang diajukan warga yang didominasi pasangan muda berusia di bawah 30 tahun.”

Cukup menyedihkan, tapi ini bukan urusanku. Buku beludru hitam itu membawaku ke sini tentu bukan tanpa alasan. Apa Bapakku seorang hakim? Atau justru Bapakku calon duda yang mengurus perkaranya? Atau mungkin Ibu kawin dengan juru parkir? 

“Pemicu utama kasus perceraian tersebut adalah problem ekonomi dan kedua judi online. Selain itu, rata-rata tingkat pendidikan pasangan yang bercerai tersebut adalah lulusan SD hingga SMP,” ujar Solikin Jamik yang seorang panitera. 

Aih, suara itu mengganggu sekali. Tidak mungkin kan Bapakku penjudi online? Ibu cukup pintar untuk memilih pasangannya di ranjang. 

Dan wushhh! Lagi, aku disedot kembali selang besar milik Ibu di kebun belakang. Alun-alun kota cukup asri dengan banyak pohon yang daunnya bergoyang-goyang diterpa angin. Ah, mengapa banyak pengemis anak kecil dan ibu-ibu? Sepertinya Hari Ibu yang diperingati setiap tahun sebagai simbol perjuangan dan pengakuan atas kontribusi perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan bangsa Indonesia masih menjadi tanda tanya.

Anak-anak itu, yang asik menodong muda-mudi pacaran di alun-alun, harusnya mereka sekolah. Harusnya orang tua turut berperan dalam tumbuh kembangnya. Harusnya kesejahteraan ibu tercukupi sejak di dalam rumah untuk melahirkan generasi emas. Betapa sedikit gerimis Hari Ibu, tapi masih banyak Ibu yang belum sejahtera.

Sedangkan di samping alun-alun, di depan gedung pemerintah kabupaten yang di halaman depan ada pendapa bernama Malowopati, beberapa orang nampak berdemo. Beberapa lembar kertas manila dijunjung, salah satunya bertuliskan “Tolak Pembungkaman Pers”.

Sepertinya itu kumpulan para wartawan dan jurnalis. Buku beludru hitam membawaku ke sini. Apakah Bapakku salah satu dari mereka? Atau justru Bapakku yang didemo mereka? 

Aku mencari-cari wajah Ibu, tapi yang kutemukan hanya sebagian wajah Kota Ledre yang muram. Aku memasuki pendapa itu. Ada banyak ibu-ibu berkebaya dan bapak-bapak berbatik. Di depan ada banner besar bertuliskan Seminar Parenting “Mempersiapkan Generasi Emas di Era Digital”.

Jika ku amati, pesertanya hanya dari beberapa kalangan kelompok pemerintahan saja. Ah, andai ibu-ibu di alun-alun tadi juga ikut. Andai pemberdayaan untuk para ibu merata. Lalu, apakah Bapakku salah satu yang hadir di sini? Atau justru Bapakku yang jualan es keliling di depan tadi? Mungkin kah Bapakku salah satu penyelenggara acara ini?

Aku keluar dari pendapa dan menyusuri alun-alun kota, menghirup udaranya dalam-dalam, kota kelahiranku. Anak itu mungkin baru umur lima tahun, ingusnya sampai kering di pintu hidung. Kulitnya tampak terlalu lama tersengat mentari. Ia digendong ibunya yang menjajakan kacang goreng.

“Aku ingin membelinya,” ucapku, tapi ibu itu melewatiku seolah aku hanya sebatas angin lalu.

Sedang orang-orang yang ditawarinya menolak untuk membeli. Sebenarnya ia terlihat masih muda. Mungkin masih kepala dua, tapi hidup membuatnya tampak lebih tua dan memprihatinkan.

Pandanganku teralihkan oleh beberapa petugas satpol PP dan orang-orang kepo yang sibuk mengambil dokumentasi di semak dekat air mancur alun-alun. Beberapa kon**m dan tisu berceceran di tempat itu.

“Seperti tidak ada hotel,” celetuk salah satu dari mereka.

“Haish, aku ke sini mencari Bapak, tapi mengapa melihat peristiwa-peristiwa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Bapak?” gerutuku.

Lalu aku berpikir, apakah kon**m itu milik Ibu dan Bapakku? Betapa sangat tidak nyaman membuatku di atas rumput yang dipenuhi semut-semut? Membayangkannya saja aku tidak sanggup.

Dan wushhh! Lagi, aku disedot kembali selang besar milik Ibu di kebun belakang. Polisi, tenaga medis dan banyak orang berkerumun di persawahaan daerah Kapas. Satu polisi dan dua bapak-bapak yang sepertinya tenaga medis memasuki kotak persegi yang terbuat dari police line. Mereka terlihat sedang mengevakuasi bayi.

“Februari lalu, bayi perempuan ditemukan mengapung di sungai juga Desa Sumbertlaseh, Kecamatan Dander,” bisik seseibu pada teman sampingnya.

“Iya, tahun lalu juga ada yang lahiran di toilet RS Sumberrejo. Terus bayinya dibuang di toilet,” ujar temannya.

“Miris ya anak sekarang,” timpal ibu itu.

“Kadang juga dari hasil perselingkuhan yang udah nikah, loh,” sahut temannya.

Ternyata, di kota yang pada tahun 2024 itu berusia 347 tahun, sudah banyak peristiwa-peristiwa yang mencengangkan. Calon ibu dan seorang ibu masih banyak yang perlu perhatian lebih dari semua pihak. Bagaimana generasi emas bisa lahir jika pendidikan dan pemberdayaan perempuan masih kurang? 

Jika aku terus menemukan hal-hal seperti ini, lalu kapan aku menemukan Bapakku? Dan wushhh! Lagi, aku disedot kembali selang besar milik Ibu di kebun belakang. Kali ini cukup mengasyikkan, aku masuk di salah satu tempat di mana anggur-anggur diperjual-belikan.

Menjelajah Bojonegoro cukup membuat aku dehidrasi. Namun, sekali lagi, aku diabaikan oleh orang-orang yang lalu-lalang, aku menjadi seperti jerit rakyat di sudut kota yang tidak tertengar. Kurungkan niatku untuk meneguk anggur dingin itu.

Meski kota mungil, ternyata Bojonegoro punya tempat karaoke yang cukup ramai. Perempuan-perempuan itu katanya, sekali lagi katanya, sedang mencari kemerdekaan di kasur, dapur, dan pupur. Beberapa lainnya mengambil cuti akhir tahun untuk merayakan Hari Ibu dengan memberi uang dan banyak perhiasan kepada sang ibu.

Sedangkan para lelaki itu, memicingkan mata seakan ia adalah dewa yang suci dari segala dosa. Aku berjingkrak kaget saat seekor tikus memakai dasi menembus tubuhku seperti melewati angin lalu. Kira-kira, Bapakku yang mana?

Tiba-tiba, aku mendengar suara Ibu. Ia menyanyikan kidung reksabumi.

Raneh amlas asih tumrap marta

Tiada belas kasih terhadap sesame

Watek nalendra kang enut abilasa

Sifat penguasaan yang mengikuti hawa nafsu

Aku melihat tubuhku perlahan hilang, kaki, perut lalu aku sempurna memasuki lorong itu lagi. Aku kembali di ruangan Ibu. Aku tidak tahu siapa Bapakku, yang kutahu Ibu tengah bersetubuh sangat hebat dengan buku-buku, lalu lahirlah aku sebagai kata-kata.

Sugeng Dinten Ibu, kagem sedanten estri dateng jagat alit ugi ageng.

Bojonegoro, 22 Desember 2024

Posting Komentar

Posting Komentar