Poster foto Bila Esok Ibu Tiada (leo pictures) |
Entah mengapa, ketika seorang anak telah dewasa, mereka merasa menjadi sosok yang paling sibuk di dunia. Kebanyakan mereka abai dan bahkan tidak mengerti betapa kesepiannya hati orang tua di masa tua. Betapa waktu dengan sosok tercinta menjadi hal paling berharga yang tidak dapat ditemukan kembali tatkala telah melewatkannya. Mungkin hanya ada satu rasa yang tersisa, yaitu penyesalan yang luar biasa. Setidaknya, itulah kesimpulan yang penulis dapatkan setelah menonton film Bila Esok Ibu Tiada.
Film yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo tersebut telah tayang di bioskop sejak 14 November 2024. Scene awal film ini menampilkan sebuah keluarga yang lengkap. Ayah, ibu beserta empat anaknya yang telah dewasa. Mereka berkumpul di ruang keluarga, di rumah yang sederhana dan penuh canda tawa khas keluarga cemara. Namun, sesaat kemudian, Haryo (Slamet Rahardjo), sang ayah meninggal dunia. Sejak saat itulah keadaan keluarga tersebut berubah, tidak lagi harmonis, semakin jauh dan asing dengan momen kebersamaan, bahkan antar keempat saudara selalu terlibat konflik.
Konflik tersebut mulai muncul saat hari ulang tahun sang ibu, Rahmi (Christine Hakim). Keempat anaknya saat itu lupa akan hari ulang tahun ibunya. Semua merasa sibuk dengan urusan masing-masing dan mulai saling menyalahkan. Tampak dalam scene, Rahmi menunggu kedatangan anak-anaknya di meja makan hingga larut malam, sendirian, kesepian. Dan akhirnya, meski telat, keempat anaknya tersebut tetap datang membawakan kue, bingkisan dan sejenisnya. Nahasnya, momen ulang tahun sang ibu dan makan malam yang harusnya hangat tersebut justru berakhir berantakan. Keempat anaknya malah saling bertengkar di meja makan dan Rahmi tak berhasil melerai mereka. Semua merasa menjadi anak paling tertekan di posisinya masing-masing dan saling memperdebatkan peran untuk keluarga.
Ranika (Adinia Wirasti), anak perempuan pertama yang menjadi tulang punggung keluarga pasca meninggalnya sang ayah. Layaknya anak pertama, ia menjadi otoriter, ia merasa paling berat sebab bertanggung jawab atas ibu dan adik-adiknya.
Rangga (Fedi Nuril), anak kedua dan laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Ia menganggur meski sudah beristri. Hidupnya penuh keraguan dan ketidakpastian, ia terjebak dengan karir musiknya yang stagnan.
Rania (Amanda Manopo), anak ketiga yang merasa banyak tak dianggap. Ia seorang artis FTV yang tidak mengalami perkembangan dalam karirnya.
Hening (Yasmin Napper), anak terakhir yang masih duduk di bangku kuliah, ia selalu merasa menjadi pilihan terakhir dan selalu dipaksa menuruti permintaan kakak-kakaknya. Ia mulai mengenal pacaran dan dunia anak-anak muda.
Konflik antara saudara tersebut terus berlanjut, Ranika dan Rania yang juga sempat terlibat kesalahpahaman atas cinta segitiga yang membuat hubungan mereka kian menjauh. Bahkan ada scene keempat bersaudara tersebut saling lempar tanggung jawab untuk menjaga sang ibu yang sedang sakit. Benar-benar nyata bahwa seorang ibu mampu merawat sepuluh anaknya, namun sepuluh anak belum tentu mampu merawat seorang ibu. Ketidakharmonisan empat bersaudara tersebut diam-diam meninggalkan kesedihan mendalam di hati Rahmi. Di kondisi kesehatannya yang semakin menurun, Rahmi berharap agar anak-anaknya tersebut dapat hidup akur kembali saat kelak ia tiada. Dan ternyata setelah sang ibu benar-benar tiada (meninggal dunia), hubungan mereka berempat menghangat. Meski tetap sempat saling menyalahkan, bersitegang, merasa kosong dan kehilangan arah hidup setelah kepergian ibunya, mereka mulai mencoba merajut hubungan harmonis kembali. Segala benang kusut kesalahpahaman pun mulai terurai perlahan.
Ada satu scene yang sangat menarik perhatian, yakni tentang filosofi Kintsugi yang ditampilkan sekilas. Sepulang kerja, Ranika melihat tembikar yang sudah retak lalu ia merekatkan retak pada tembikar tersebut dengan lem dan menghiasnya dengan kertas emas agar tampak lebih baik. Kintsugi adalah seni tradisional Jepang untuk memperbaiki tembikar pecah dengan menyatukan pecahan-pecahannya kembali dengan lem dan menghiasinya dengan emas, perak, atau platinum. Hal ini menjadi simbol yang mengajarkan bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari keindahan.
Filosofi tersebut diceritakan oleh Hening pada Rania pasca sang ibu tiada, bahwa Ranika lah yang menambal tembikar tersebut meski tidak dengan emas murni, ia menambal dengan segala ketidaksempurnaannya. Hal tersebut Hening lakukan untuk melerai kesalahpahaman Rania yang menganggap bahwa Ranika tidak pernah peduli perasaannya. Sedangkan Hening menyaksikan sendiri bahwa Ranika, sebagai anak pertama, telah berkorban banyak dalam keluarga dan paling peduli terhadap adik-adiknya. Pada akhirnya, keempat bersaudara tersebut saling mengerti dan mencoba merekatkan keretakan yang sempat ada. Hal ini salah satunya tampak pada scene Rangga memakan martabak berdua di belakang rumah dengan Ranika pasca kepergian ibunya. Di momen itu, Rangga meminta agar Ranika mulai memikirkan dirinya sendiri. Film tersebut diberi soundtrack lagu "Bunda" yang juga diposisikan sebagai hasil musik buatan Rangga.
Terkait scene berisi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, di film ini sebenarnya malah tidak banyak ditampilkan. Bahkan nyaris tertutup lainnya. Entah hal ini disengaja atau tidak. Justru yang paling mencolok adalah konflik dan pertengkaran antar saudara kandung serta karakter-karakter khas anak pertama, kedua dan seterusnya, yang mungkin terasa nyata di kehidupan sebagian para penonton yang memiliki banyak saudara.
Selain itu, film ini lebih menunjukkan emosi kompleks dan kuatnya karakter perempuan. Hal ini dapat dilihat dari sosok Rahmi, seorang ibu yang berusaha tetap tenang dan baik-baik saja di depan anak-anaknya. Dalam tenangnya ada banyak luka dan kesedihan yang terpendam saat berada di tengah konflik anak-anaknya. Ia menyembunyikan penyakitnya, menyimpan rasa kesepian dan kesedihannya sendiri. Namun, perempuan tetaplah perempuan. Setegar apapun, ia memiliki sisi rapuh dalam hatinya. Hal itu tampak saat Rahmi pergi sendiri dari Jakarta untuk berziarah ke makam suaminya di salah satu kota di Jawa Tengah. Ia benar-benar menghabiskan waktu sendiri. Di depan pusara sang suami, ia menceritakan perkembangan anak-anaknya. Menunjukkan betapa penatnya menjadi seorang ibu, membesarkan anak-anaknya sendirian, yang kini terus bertengkar dan tak seharmonis dulu. Ada perasaan merasa gagal menjadi ibu yang mengayomi, bahkan perasaan takut menyusahkan anak-anaknya –khas perasaan semua ibu–. Di pusara itu, Rahmi menumpahkan segala kelemahannya yang tidak pernah ia tampakkan di hadapan anak-anaknya. Antara sepi, sedih, rindu pada suaminya, semua campur aduk menjadi satu.
Akting Christine Hakim dalam scene ini benar-benar luar biasa, ia mampu membawa hanyut dan mengaduk emosi penonton, seolah mengajak semua merasakan perasaannya sebagai ibu dan perempuan. Di scene itu, Christine Hakim benar-benar berhasil meloloskan air mata para penonton, termasuk penulis. Emosinya benar-benar mengena.
Selain Rahmi, ada Ranika yang juga kuat dengan karakter perempuan. Sosok anak pertama perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya tiada. Ranika bahkan belum menikah hingga usia 39 tahun. Ia menjadi perempuan yang benar-benar melupakan ego dan dirinya sendiri, ia hanya sibuk berkarir demi ibu dan adik-adiknya. Ambisinya sebab ia merasa menjadi penyangga utama keluarga. Dari situ, ia tampak tidak pandai dan selalu takut mengekspresikan berbagai emosi dalam hatinya. Kerapkali, sifat pengatur dan meledak yang khas dimiliki oleh anak perempuan pertama, sering disalahartikan oleh adik-adiknya sebagai hal yang buruk. Padahal ia adalah sosok paling peduli dengan adik-adiknya dan bahkan berani mempertaruhkan hidupnya.
Di film ini, pemilihan peran dan karakter sudah sangat cocok dan sempurna. Para lakon ternama tersebut berhasil berakting natural, real layaknya sebuah keluarga dan memiliki chemistry yang kuat, karakter-karakternya benar-benar hidup. Meski kurang diimbangi dengan script yang matang –yang menyebabkan kalimat dalam dialog terkesan flat dan kurang mengena–, namun para lakon tersebut tetap dapat membawa suasana yang terasa nyata. Terkait sinematografi, perpindahan shoot di sini terlalu nampak. Ada juga beberapa shoot yang bahkan sedikit mengganggu, yakni beberapa zoom out yang menampilkan face pemain dalam jarak dekat. Namun selain itu, perfect, pengambilan gambar yang menunjukkan nuansa hangat juga sudah sangat pas dan sempurna.
Film ini diadaptasikan dari novel karya Nagiga Nur Ayati dengan judul yang sama. Sayangnya, penulis belum pernah membacanya. Hingga saat review ini ditulis, film ini masih tayang, namun hanya di beberapa bioskop di kota besar. Jika penasaran silahkan menonton atau kalian dapat menunggu filmnya tayang di aplikasi. Selamat Hari Ibu.
*Penulis menonton film ini di bioskop pada 2 Desember 2024
Posting Komentar