mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Goresan Jarum Pentul

Malam itu hujan turun dengan lebat, membawa serta aroma tanah basah yang menenangkan. Di depan meja belajarnya, gadis bernama Arabella itu duduk termenung memandangi jendela kamarnya yang dipenuhi butiran air hujan. Lala, begitu ia dipanggil. Sebuah buku novel berjudul Not Me terbuka di tangannya. Novel itu mencerita tentang seorang anak yang menghadapi masa-masa sulit akibat bullying. Mengingatkannya ketika masih Madrasah Tsanawiyah, dan tanpa sadar dadanya terasa sesak dan bayangan masa lalu Kembali muncul, seperti film yang diputar ulang. Masa-masa yang tak pernah ingin ia ingat.

****

Arabella adalah anak yang pendiam dan penakut. Tubuhnya kurus dan tinggi dengan kacamata tebal di hidungnya. Ia lebih suka berdiam di kelasnya berharap tidak ada yang memperhatikannya, namun keinginannya terlalu tinggi. Teman-temannya selalu mencari cara untuk menjadikannya sasaran perundungan. Dia sering menjadi bahan olok-olokan, pemalakan dan bahkan kekerasan.

Setiap pagi, Arabella berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya, dan berharap tidak bertemu mereka Amel, Iil, Laras, Qomariyah dan Laila. Para anak yang mengintainya seperti pemburu.

“Hei, Lala si cupu, berhenti kamu” suara Amel bertubuh gemuk menggema di koridor.

Lala berhenti, jantungnya berdetak kencang, tangannya terasa dingin. Ia tahu apa yang selanjutnya terjadi.

“Mana uang jajanmu hari ini?” tanya Amel dengan nada sinisnya.

“Aku… aku nggak bawa banyak,” jawab Arabella terbata-bata.

“Bohong! Buka tasmu sekarang!” Amel meraih tasnya dengan paksa, lalu mengambil uangnya dan melempar tasnya sehingga buku-bukunya berceceran di lantai.

“Aku mohon jangan diambil, aku hanya membawa uang 2000 saja dan aku belum sarapan” ucap Arabella.

“Memangya aku peduli, mau loe belum makan mau loe mati siapa yang peduli,” ujar Amel tertawa dengan keras, lalu meninggalkan Arabella yang memungut buku-bukunya.

Tak sampai disitu sesampainya di kelas Iil, Laras, Qomariyah dan Laila sudah menunggunya.

“Widih sicupu udah sampai kelas, nih!” ujar Laila.

Arabella hanya bisa menundukkan kepala dan menuju mejanya. Mereka berempat Iil, Laras, Qomariyah dan Laila menghampiri lalu menggebrak meja.

“Kok bisa-bisanya sih orang yang cupu, penakut, oon dan bodoh kayak elo jadi jadi salah satu anggota OSIS” ucap Iil.

Iya aneh banget kak Farida kenapa bisa-bisanya milih lho jadi anggota OSIS” imbuh Qomariyah.

“Wajah lho mengganggu banget udah jelek goblok lagi” Laras berucap. 

“Iya, lho itu pantasnya mati. Keluar gih dari sekolah kita” ucap Laila seraya menarik hijab Arabella sampai jarum yang dipakainya menggores leher hingga berdarah.

Arabella menangis seraya berucap “Ampun, tolong lepaskan hijabku”.

Bukanya melepaskan hijab Lala dari cengkeraman tangannya,  justru dengan teganya Laila menjedotkan kepala Arabella ke meja. Setelah mereka puas merundung Arabella mereka pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun, meninggalkan Arabella yang menangis tanpa berani melawan, karena dia tahu jika melawan hanya akan membuatnya semakin lebih buruk. Hal itu terus berulang setiap harinya.

“Apa salahku, walaupun kak farida menyuruhku untuk menjadi OSIS, Aku juga sudah menolak dan bahkan sudah mengundurkan diri jadi anggota OSIS, kenapa mereka menyuruhku mati dan kenapa dia memalakiku terus-menerus!”ucapnya didalam hati.

Ilustrasi (kho)

****

Arabella pulang ke rumah, ibunya bertanya mengapa ia sering pulang dengan wajah murung, Arabella hanya menjawab,”Aku capek belajar.”

Malam-malamnya dihabiskan dengan menulis buku hariannya. Di sana ia menuangkan semua kesedihan yang tidak pernah ia ungkapkan.

“Aku ingin mereka berhenti mem-bully. Tapi aku takut. Bagaimana jika perlakuan mereka lebih parah lagi?” tulisnya di suatu malam seraya air mata menetes di buku itu.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak masa kelam itu. Kini Arabella menjadi seorang guru. Ia berusaha dan berniat mencegah perundungan terjadi di lingkungan sekolah. Ia juga menjalani hobinya yaitu membaca novel dan menulis. Ia menemukan cara menemukan cara untuk mengungkapkan rasa sakitnya dan amarahnya melalui tulisan. Walaupun begitu luka dimasa lalu tetap ada, seperti bekas luka yang tak pernah sepenuhnya pudar.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Dengan langkah pelan ia meninggalkan kamarnya, Arabella membukakan pintu. Dua orang dengan wajah tak asing berdiri di sana.

“Arabella, ini aku… Iil dan Amel”, kata Iil dengan suara pelan.

Arabella terdiam. Ia mengenali wajah itu, wajah-wajah yang dulu menghantuinya setiap hari.

“Aku cuma mau bilang… maaf. Aku tau yang kulakukan dulu salah. Aku ngak tau kalau itu akan meninggalkan luka sebesar ini. Kami menyesal” kata Iil dengan suara penuh penyesalan.

“Iya Aku juga minta maaf” imbuh Amel.

Arabella terdiam dan menatap mereka. Emosi bercampur aduk dalam hatinya marah dan sedih.

Apa salahku sehingga kalian memperlakukanku seperti itu?”, ucap Arabella

Mereka berdua terdiam dan hanya terucap kata “maafkan kami”.

“Baiklah, masa lalu nggak bisa diubah, Aku memaafkan dan mengikhlaskan perbuatan kalian” jawab Arabella dengan tenang.

"Tapi aku harap kalian nggak melakukan itu lagi, tidak satupun manusia yang pantas diperlakukan seperti itu, dan tolong jangan pernah muncul di hadapanku, jika kalian muncul kalian akan membuka luka itu kembali”.

Ia berusaha melupakannya walaupun itu kemungkinannya sangat kecil. Karena luka bullying itu akan membekas seumur hidup, tapi ia berusaha berdamai dengan semua itu.

Hujan masih turun, membasahi bumi dengan suara yang lebih tenang. Petir telah hilang, meninggalkan langit yang gelap namun damai. Hujan menghapuskan kenangan masa-masa menakutkan. Petir di hati pun telah hilang, meninggalkan kedamaian.


Penulis : Athiatul Maula

0

Posting Komentar