mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Hari Perempuan Internasional, Potret Lain dari Anak Perempuan


Ilustrasi: Canva

Kemarin pada Sabtu (8/3), orang-orang ramai mengucapkan “Selamat Hari Perempuan Internasional” di berbagai platform media sosial. Pada tahun ini, perayaan tersebut mengusung tema “For All Women and Girls: Rights, Equality, Empowerment” yang menyerukan tiga hal; memajukan, mempromosikan kesetaraan gender dan mendorong pemberdayaan perempuan.

Perempuan, yang kerap kali mengalami diskriminasi, kehilangan hak, dituntut sesuatu yang bukan kewajibannya, mendapat ketidakadilan dan lainnya lagi yang menimbulkan luka batin maupun fisik ternyata mampu menyembuhkan diri secara sendiri dan meneruskan hidup juga dengan usahanya sendiri.

Di sebuah tempat makan, saya dan seorang teman duduk berhadapan. Sebut saja namanya Bulan yang bukan nama asli. Sebagai anak perempuan tunggal yang kehilangan ibu beberapa tahun silam, ia melepas karirnya yang gemilang dengan gaji yang lebih besar dari UMR Bojonegoro untuk pulang di kota mungil ini dan merawat rumah dan sang bapak.

Sebagai anak perempuan tunggal, ia harus bekerja dari pukul delapan dan sering pulang larut malam karena lembur dengan gaji yang tidak seberapa dibanding gaji di perusahaan sebelumnya.

“Pulang kerja belanja. Harus mikir besok masak apa. Belum lagi kalau ada tingkepan pari, orang ngedos, bancakan di musala,” ujarnya.

Meski statusnya masih menjadi anak, Bulan tidak pernah sekalipun menuntun uang belanja maupun kebutuhan domestik lainnya kepada si bapak. Ia membeli deterjen, sampo, sabun dan lain-lain dari gajinya yang tak seberapa itu.

Ia masih harus buwuh bahkan rewang dengan embel-embel tradisi menggantikan ibunya.

“Pernah karena kerja dan aku nggak mungkin izin, dimarahi bu de di depan banyak orang hanya karena aku tidak rewang, haha,” ungkapnya.

Bulan yang tidak pernah menuntut apa-apa dan melakukannya secara mandiri sering kali mendapat perlakuan ‘kurang ajar’ dari pihak keluarganya sendiri. Menganggap ia harus serba bisa menggantikan sosok ibunya untuk keluarganya seperti rewang dan meminjamkan uang.

Bahkan yang katanya keluarga, menurut Bulan, justru mendiskriminasi, mengolok-olok, menyalahkan bahwa ia adalah sumber kesedihan terbesar dari sang bapak hanya karena ia belum menikah.

Haknya sebagai anak tidak lagi diberikan dan justru ia dituntut melaksanakan kewajiban yang sama sekali bukan tugasnya.

Selain Bulan, Matahari yang juga bukan nama asli, mengalami hal yang sama; kehilangan haknya sebagai anak dan dituntut melaksanakan kewajiban yang juga bukan tugasnya.

Sore yang tidak begitu sejuk, di atas sepeda motor saat mengelilingi jalanan kota, ia bercerita bagaimana kesehariannya sebagai anak perempuan dari empat bersaudara tanpa seorang ibu.

Sebelum matahari benar-benar menampakkan diri, ia sudah bekerja di sebuah pabrik rokok. Gaji yang tidak seberapa itu juga ia gunakan untuk ‘menafkahi’ bapaknya yang sakit-sakitan, abangnya yang tua dan pengangguran, serta adik laki-lakinya yang sekolah dan mondok. Ia masih harus membayar tagilan air dan listrik di tempat tinggalnya sendiri maupun di rumah sang bapak.

“Seminggu sekali pulang bawa belanjaan stok seminggu ke depan untuk bapak dan mas. Masih harus membayar uang sekolah dan mondok adik, juga lengkap dengan uang sakunya,” terangnya.

Sama seperti Bulan, Matahari juga harus menggantikan ibunya ketika buwuh dengan bawaan yang tidak murah. Mereka berdua sama-sama kehilangan haknya sebagai anak.

Setidaknya, menurut mereka, ketika seseorang memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak, maka seseorang itu harus siap menerima risiko beserta tanggung jawabnya. Dilansir dari halaman resmi UNICEF, setidaknya ada 10 hak anak yang wajib diberikan oleh orang tua:

1. Hak Mendapatkan Identitas

2. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan

3. Hak untuk Bermain

4. Hak untuk Mendapatkan Perlindungan

5. Hak untuk Rekreasi

6. Hak untuk Mendapatkan Makanan

7. Hak untuk Mendapatkan Jaminan Kesehatan

8. Hak untuk Mendapatkan Status Kebangsaan

9. Hak untuk Turut Berperan dalam Pembangunan

10. Hak untuk Mendapatkan Kesamaan

Sayangnya, Bulan dan Matahari tidak lagi mendapat hak-haknya. Mereka tidak lagi mendapatkan biaya pendidikan. Bahkan mereka mengesampingkan waktu bermain demi bisa memberi ‘nafkah’. Keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan paling mendasar dan utama justru yang paling menyakiti.

Mereka tidak lagi mendapat hak rekreasi, bisa merebahkan diri dengan tenang saja bagi mereka sudah luar biasa. Mereka tidak lagi mendapatkan hak makanan, mereka mencari makan sendiri dan justru mereka yang memberi makanan.

Mereka tidak lagi mendapat jaminan kesehatan. Bahkan Bulan yang harus keluar-masuk poli jiwa selama satu tahun, melakukannya secara sendiri tanpa ada yang peduli. Mereka benar-benar kehilangan hak sebagai anak dan perempuan.

Meski begitu, Bulan dan Matahari adalah potret perempuan tangguh yang terus berjuang dengan cara masing-masing, terus menjalani hidup dengan semangat yang ditempa mandiri, meski dibarengi misuh beberapa kali.


Posting Komentar

Posting Komentar