Saat terjadi demonstrasi, fenomena yang seringkali tersorot media adalah para demonstran ramai-ramai merobohkan pagar yang bertengger di depan halaman gedung parlemen. Benar, kan?
Setelah pagar roboh, demonstran lantas dihadang oleh para aparat yang sebelumnya telah berjejer, yang seolah siap mati demi tikus-tikus dalam gedung. Eh, maaf kalau benar. Ketika demonstran berhasil merangsek masuk, aparat akan ramai-ramai memukul mundur, menyemprotkan water canon, melukai hingga mencekal demonstran.
Kemudian akan tersebar framing bahwa demonstrasi hanya berisi kerusuhan. Para demonstran –yang menyuarakan aspirasi– dicap sebagai pembuat onar, penyebab macet jalan dan pembuat kerusakan. Pemikiran inilah yang berhasil memengaruhi penilaian negatif masyarakat terhadap demonstrasi, lalu mengakar hingga hari ini.
![]() |
Ilustrasi dibuat di Canva (kho) |
Sedangkan di Indonesia, bangunan gedung parlemen justru memiliki pagar yang tinggi menjulang. Pagar masih terletak jauh dari gedung parlemen utama, bahkan masih ada halaman sangat luas yang entah apa fungsinya. Ini yang penulis katakan bahwa pagar adalah bukti ketidakterbukaan –yang katanya– wakil rakyat. Pagar di depan halaman gedung parlemen memberikan makna bahwa penghuni di dalamnya bodo amat, tuli, sengaja menghindari suara rakyat, tidak peduli asal kepentingan pribadi telah terpenuhi, ingin tetap tenang dan hidup nyaman, meski di luar gedung ada massa yang berbondong-bondong menyuarakan harapan.
Dapat dilihat, betapa banyak aturan hukum di Indonesia yang tiba-tiba disahkan dan dibahas secara tertutup? Revisi UU TNI dan Polri baru-baru ini, misalnya. Dan aturan hukum yang disahkan mendadak tersebut selalu terbalut kepentingan sepihak. Hal itulah yang kemudian memicu aksi rakyat.
Ini hanya cuplikan hakikat makna sebuah pagar di depan halaman gedung. Penulis mengupasnya menggunakan teori Semiotika ala Roland Barthes. Dengan pagar sebagai sign (tanda). Besi, kayu, tembok sebagai makna denotasi dengan ketidakterbukaan sebagai makna konotasi. Terletak jauh di depan halaman sebagai makna denotasi dengan penghindaran diri dari rakyat sebagai makna konotasi. Jika kalian anak jurusan bahasa, silakan menggunakannya sebagai judul penelitian Anda.
At least, dalam sebuah pagar ternyata terdapat makna mendalam. Bahwa di balik remehnya keberadaan pagar ternyata dapat mencerminkan isi dan sistem di dalamnya. Pantas saja bukan, jika selama ini suara rakyat tak pernah didengarkan? Penulis menyarankan agar gedung parlemen tak usah lagi memiliki pagar, agar lebih terbuka. Terbuka dalam hal mendengar kritik maupun masukan. Terbuka saat memutuskan sebuah aturan. Hitung-hitung hemat anggaran, agar yang katanya fasilitas umum itu tak selalu dirusak oleh demonstran. Eman, kan? Karena pasti selalu ada potensi terulang.
Penulis juga tidak melegalkan tindakan merusak saat demonstrasi. Hanya saja, malah teringat pada kasus di pertengahan tahun 2018, ada tiga mahasiswa di Riau yang diduga teroris sebab merakit bom. Saat diinvestigasi, mereka mengaku bahwa tujuan merakit bom adalah untuk mengebom kantor DPR RI dan DPRD. Kalian bisa searching beritanya di Google. Berita tersebut sedikit menggelitik, sebab masyarakat langsung dilema antara ingin menyalahkan atau justru membenarkan. Eh, bagaimana tanggapan kalian?
*Semiotika adalah salah satu mata kuliah di Prodi Bahasa dan Sastra Arab (BSA) Unugiri
Posting Komentar