mJHEzxukdj31fhzMIHmiGai4Yfakiv2Yjgl83GlR
Bookmark

Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan Karya Yogi Abdul Gofur; Puisi sebagai Media Juang

Malam yang ramai dan bulan bersinar cerah, bunga-bunga kemboja yang mekar dan beberapa berguguran harumnya menyeruak di hidung orang-orang yang melingkar di karpet dan duduk di kursi menyimak penampilan NgaostikFest 12 di Helacoffeshop pada Sabtu (5/4).

NgaostikFest merupakan ajang berkumpul, bertukar ide dan berekspresi bagi komunitas maupun pelaku literasi, seni, dan lainnya di Bojonegoro maupun luar Kota Ledre. Usai berdiskui literasi, ada banyak penampilan dadakan yang disuguhkan para pengunjung, salah satunya pembacaan puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan. Sebagai penulisnya juga, Yogi Abdul Gofur membacakannya di depan para penonton, di antara desiran Bengawan Solo dan kerlap-kerlip jembatan Sosrodilogo.

Yogi Abdul Gofur saat membaca puisi
Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan/Foto: Kemboja

Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan

Sayang… Oh dua ribu sayang

Dua ribu dua puluh lima

Ada penduduk baru

Di kuburan

Diucapkan selamat datang


Sayang… Oh sayang

Rembulan Ramadhan sudah tidak lagi terang

Ia tenggelam oleh senapan


Sayang… Oh sayang

Rembulan Ramadhan di atas kuburan

Telah hilang

Oleh serdadu

Yang memiliki pangkat nomor satu

Ia mendongeng

Kalau rembulan Ramadhan

Sudah dimakan oleh buta jahanam

Perempuan yang hamil

Disembunyikan dalam ketiak kamar

Agar janinnya

Tidak dimakan buta jahanam


Sayang… Oh sayang

Pendatang baru

Bermalam di kuburan

Dengan petang

Dan sebelum ajal tiba

Ia berpesan


Nanti… Aku pesan keranda loreng

Kalau boleh… Nanti kain kafanku

Biar berwarna cokelat

Atau loreng sekalian

Biar malaikat geleng-geleng

Dan biar semua egoku

Ikut terkubur bersama tanah


Sayang… Oh sayang

Lelucon itu terlaksanakan

Loreng dan cokelat

Mendominasi area pemakaman

Tank tempur siap menggempur

Baracuda siap mengantar

Hingga bibir kuburan

Meskipun makam-makam yang lain

Tertindas, tidak apa-apa

Yang penting makam kawanku aman

Rembulan Ramadhan yang tenggelam

Di malam jahanam

Muak menyaksikan reka adegan

Terbitlah fajar bersama

Musik sahur

Yang dikumandangkan warga sipil

Dengan segenap juang dan harapan

Suasana NgaostikFest 12/Foto: Kemboja

Proses Kreatif Penulisan Puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan

Yogi yang saat ini tengah belajar di Pondok Pesantren Ma’had Aly Raudhatul Muhibbin Bogor, mengaku membutuhkan kesunyian dan kesepian untuk menulis puisi apapun termasuk puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan yang ia tulis pada 22 Maret 2025.

Selain membutuhkan suasana yang mendukung bekerjanya otak, hati dan tangan, ia juga perlu merefleksikan dengan hal-hal yang sedang terjadi. “Saat pulang kampung, saya mampir ke kuburan Bapak. Lalu berdiskusi dengan kawan-kawan Aliansi Veteran Memanggil yang melakukan demo pada Kamis 27 Maret kemarin untuk menolak UU-TNI,” jelasnya.

Proses selanjutnya yang ia lakukan adalah menulis. Dalam seminggu, paling tidak ia bisa menghasilkan satu puisi meski beberapa kali pernah menulis satu hari satu puisi.

Puisi yang selesai ditulis tidak langsung disuguhkan oleh Yogi, puisi tersebut masuk melalui tahap editing secara mandiri juga. “Sebenarnya sekali duduk bisa nulis satu puisi, tapi kan puisi tidak langsung jadi. Perlu dibiarkan lalu diedit kemudian,” terang Yogi yang juga merupakan pendiri Gubuk Ekologisme Nurul Falah.

Puisi sebagai Media Juang

Yogi yang berasal Campurejo Bojonegoro tersebut menganggap puisi sebagai media juang. Melalui kata-kata yang ia susun berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi, ia ingin puisinya mampu bercerita dan masuk ke dalam hati juga pikiran pembaca maupun pendengarnya.

Puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan sendiri ditujukan Yogi untuk membangun kesadaran ekonomi politik untuk semua warga negara, dari mahasiswa, dari kawan-kawan seniman, maupun dari kawan-kawan bagian warung kopi dan lain sebagainya.

“Ingin membangun kepercayaan ekonomi politik di kondisi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja atau istilahnya Indonesia Gelap,” paparnya.

Itu juga menjadi alasan mengapa ia mendengungkan salam 1.3.1.2 atau A.C.A.B yang merupakan kebalikan dari kata BACA yang menjadi tema NgaostikFest 12 ‘Baca Alam Semesta; Acab Mala Semesta’ Membaca Menyembuhkan Mala. Melansir dari Wikipedia, A.C.A.B. merupakan sebuah akronim dari "All Cops Are Bastards" yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Semua Polisi adalah Bajingan".

Akronim tersebut biasanya digunakan sebagai slogan dalam grafiti, tato, dan gambar lain untuk memprotes perilaku polisi yang tidak etis, dan polisi pada umumnya. Kadang-kadang ACAB ditulis secara numerik sebagai "1312", mengikuti urutan alfabet Inggris.

Salam dan puisi yang ditulis serta dibaca Yogi juga merupakan bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menyeleweng. “Itu sebagai wujud kekecewaan saya terhadap militerisme,” ungkapnya.

Yogi bercerita, pada bait yang tertulis tentang fenomena perempuan hamil disembunyikan di ketiak (gorong-gorong) kamar agar janinnya tidak dimakan buta jahanam saat gerhana matahari berawal dari mitos yang beredar di kampung halamannya. “Nah, itu sebenarnya pengaruh dari militerisme orde baru. Itu juga diperkuat oleh karyanya Eka Kurniawan tentang pengaruh militerisme yang kuat sampai memberikan mitos-mitos yang aneh ketika gerhana matahari lain sebagainya,” terangnya.


Melalui puisi tersebut pula, Yogi mengajak semua elemen masyarakat agar tetap jangan diam dan melawan ketidakadilan dengan kreativitas masing-masing. “Semisal yang di bidang jurnalistik ya dengan menulis berita yang bijak. Yang suka puisi dengan puisinya, yang seni dengan lukisan atau karyanya yang lain, dan sebagainya,” ucapnya.

Pemaknaan Pendengar Puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan

Hadi Santoso, sebagai salah satu peserta NgaostikFest 12 dan juga pembaca sekaligus pendengar pembacaan puisi Rembulan Ramadhan di Atas Kuburan mengungkapkan bahwa puisi apapun bebas dari penilaian. “Sebagai orang awam, menurutku puisi bebas dari penilaian, kecuali puisi itu untuk apa? Lha itu paling bisa berpendapat tentang target dari puisi itu untuk apa,” ujarnya.

Bagi Hadi, puisi tersebut berkisah tentang kelompok kecil yang masih berjuang meski sudah tidak berdaya. Kelompok yang mendambakan penerang di tengah kegelapan dan terus bertahan berjuang hingga nanti sampai fajar tiba, yaitu kemenangan dari kegelapan.

“Penguasa yang punya segalanya menggunakan kekuasaannya bersama gelap untuk menindas. Yang harusnya menerangi justru malah menutup cahaya,” ungkapnya.

‘Kebebasan lewat aturan’ yang diberlakukan kepada masyarakat, menurut Hadi sama halnya dengan membunuh demokrasi. “Hal itu menandakan pemerintah mengakui ketidakmampuan mengelola negara dengan demokrasi. Memalui puisi tersebut, harapannya kelompok-kelompok kecil ini akan selamat dan membawa kesadaran bersama rakyat,” pungkasnya.

Sedangkan bagi Mawar, salah satu peserta yang mendengarkan juga membaca puisi tersebut, ia memaknai intinya sebagai 'veteran perang'. Rima atau susunan vokal dari akhir setiap kata menurut Mawar masih terasa kurang dari sudut pandang pendengar.

"Aku kurang tahu puisi harus indah atau enggak, tapi ini bagiku enggak indah sama sekali. Jadi mirip teks orasi yang jika dicermati seperti mengungkapkan perasaan menyesal, kesal, " ungkapnya.

Posting Komentar

Posting Komentar